JAKARTA – Hari ini, ribuan pengemudi ojek online turun ke jalan, berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, DKI Jakarta. Mereka menyuarakan berbagai tuntutan, diantaranya perbaikan sistem dan formula tarif, juga penghapusan sistem skorsing (suspend).
Seperti yang diteriakkan sorang wanita pengemudi ojek online bernama Melva Maria (54). Dia menuntut agar sistem skorsing atau suspend yang diterapkan perusahaan penyedia aplikasi (aplikator) dihilangkan.
Maria menyoroti pengalamannya mendapatkan sanksi skors lantaran membatalkan pesanan pelanggan yang menurutnya sangat membebani dirinya selaku ojek pengantar barang.
“Saya pernah dapat pesanan gabungan, yang satu 20 kilogram, yang satunya kecil. Nah yang 20 kilogram saya kan perempuan. Sekuat-kuatnya perempuan untuk angkat nih barang 20 kilogram, (enggak bisa). Cerdas sedikit lah aplikator. Harusnya dibedakan perempuan sama pria. Kalau pria seusia berapapun masih mampu angkat. Tapi kalau perempuan, saya udah 54, enggak akan mampu angkat 20 kilogram. Akhirnya saya batalkan dengan konsekuensi nilai performa turun,” kata Maria kepada awak media di tengah aksi, Kamis.
Maria juga meminta agar aplikator (penyedia aplikasi) membedakan pengemudi pria dan wanita dalam membagikan orderan.
“Enggak ada (pembedaan pria dan wanita), jadi random. Semua enggak dipisahkan. Paling kalau spesifiknya kita daftar hub. Kita daftar hub hanya khusus spesial hub. Tapi di hub pun kalau kita salah, kita kena suspend juga. Artinya aturan itu yang perlu dirombak,” tutur Maria.
Maria menyebut di perusahaan di tempatnya bekerja, membatalkan pesanan dua barang lebih dari dua kali dapat berpotensi putus kemitraan dengan perusahaan.
“Kalo lebih dari dua kali (ojek membatalkan pesanan) kita kena sanksi putus mitra. Lu membatalkan tujuh barang di hari yang sama maka 400 poin hilang,” kata Maria menjelaskan situasi yang berpotensi memutus kemitraan dengan perusahaan.
Maria mengatakan bahwa dirinya bukannya tidak mau bekerja, namun pembatalan pesanan pelanggan dilakukannya karena alasan yang menurutnya masuk akal.
“Siapa sih yang enggak mau kerja? Tapi kalau misalnya tidak sesuai dengan (kapasitas) kendaraan. Apa yang dipaksa? Saya pernah kecelakaan loh, ditalangi cuman sedikit (oleh aplikator). Jadi yang asyik-asyik aja lah di online ini. Jangan terlalu menekan,” kata Maria.
Dirinya menawarkan simbiosis mutualisme antara aplikator dan dirinya sebagai mitra.
“Semua kita mitra di sini mau kerja kok. Enggak ada yang mau nganggur. Tapi manusiawi lah. Mereka tanpa mitra enggak bisa apa-apa juga. Kita tanpa aplikator juga gitu. Jadi intinya kayak tadi saya bilang, simbiosis mutualisme. Kami butuh aplikator, aplikator apa butuh kami,” kata Maria.
Diketahui, aksi tersebut menyampaikan beberapa tuntutannya kepada perusahaan maupun pemerintah. Rencananya, aksi dari massa ojol dan kurir yang menamakan diri Asosiasi Pengemudi Transportasi Daring Roda Dua Nasional Garda Indonesia ini diikuti 500-1.000 orang.
“Informasi dari rekan-rekan kami bahwa aksi akan diikuti sekitar 500-1.000 pengemudi ojol dari berbagai komunitas di Jabodetabek, dengan rencana pelaksanaan jam 12.00 WIB dengan rute aksi Istana Merdeka, kantor Gojek di sekitar wilayah Petojo, Jakarta Pusat dan kantor Grab di sekitar Cilandak, Jakarta Selatan,” kata Ketua Umum Garda Indonesia Igun Wicaksono dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (28/8).
Igun menilai pemerintah belum dapat berbuat banyak untuk memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan para mitra perusahaan aplikasi yang ada. Hal tersebut terlihat dari status hukum ojek online ini yang masih ilegal tanpa adanya kedudukan hukum (legal standing) berupa undang-undang.
Menurut Igun massa yang menuntut adanya legal standing yang jelas bagi para pengemudi ojol ini agar perusahaan tidak berbuat semaunya terhadap mitra ojol dan kurir.
“Tanpa ada solusi dari platform dan tanpa dapat diberikan sanksi tegas oleh pemerintah, hal inilah yang membuat timbulnya berbagai gerakan aksi protes dari para mitra,” tegas Igun. (*/Jo)