JAKARTA – Upaya memunculkan kotak kosong dan calon “boneka” dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) akhirnya berantakan. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah.
Keputusan MK itu tertuang dalam putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dibacakan kemarin. Mulanya, ambang batas pencalonan dalam UU Pilkada ditetapkan sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah.
Kedua opsi itu berlaku hanya untuk partai yang memiliki kursi di DPRD. Nah, MK mengubah aturan tersebut dengan memberi hak yang sama pada semua partai. Ambang batas pencalonan dibuat berbeda antardaerah, bergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) masing-masing.
Mengutip JawaPos.com, selain mengubah ambang batas pencalonan, MK dalam putusan lainnya memberikan tafsir terkait waktu penentuan usia kepala daerah. Dalam pertimbangan putusan nomor 70/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa syarat usia minimum calon kepala daerah terhitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU.
Permohonan itu sendiri diajukan dua mahasiswa pasca adanya putusan MA yang mengubah penentuan usia dari saat penetapan menjadi saat pelantikan. MK menegaskan, norma dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada dinilai sudah jelas. Sehingga tidak perlu ada tafsir lain, selain yang diatur dalam UU Pilkada.
“Penting bagi Mahkamah menegaskan, titik atau batas untuk menentukan usia minimum dimaksud dilakukan pada proses pencalonan, yang bermuara pada penetapan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah,” kata hakim MK Saldi Isra.
Saldi mengingatkan, PKPU tentang pencalonan harus dibuat sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada. Bagi MK, pemaknaan atas regulasi tersebut mengikat semua penyelenggara pilkada. Jika KPU tidak mengikuti pertimbangan dalam putusan, Saldi mengingatkan, MK berwenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada. “Calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tidak memenuhi syarat dan kondisi dimaksud berpotensi untuk dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah,” tegasnya.
Dalam memutus, komposisi hakim terjadi perbedaan. Dalam perkara ambang batas, putusan mengalami perbedaan pendapat terdapat pada dua hakim. Yakni, Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah.
Sedangkan pada perkara usia kepala daerah, delapan hakim memutus secara bulat. Kecuali hakim Anwar Usman yang tidak diikutsertakan karena punya potensi konflik kepentingan dengan keponakannya, Kaesang Pangarep, yang berpeluang maju pilkada.
Putusan MK tersebut menjadi angin segar untuk sejumlah partai dan tokoh tertentu. Salah satu yang diuntungkan adalah PDIP. Seperti diketahui, PDIP berpeluang hanya menjadi penonton di pilkada Jakarta. Sebab, PDIP tidak bisa menggenapkan jumlah kursi dukungan minimal 20 persen akibat gagal mendapat kawan koalisi. Namun, dengan putusan ini, PDIP dipastikan bisa mengusung calonnya sendiri. Dalam Pemilu 2024, di Jakarta PDIP meraih 14 persen suara. (*)